Jakarta – Pemerintah menghadapi tekanan untuk segera mengambil langkah-langkah strategis dalam merespons laporan Bank Dunia yang mengindikasikan peningkatan signifikan angka kemiskinan di Indonesia. Data terkini menunjukkan bahwa sekitar 195 juta penduduk Indonesia kini hidup di bawah garis kemiskinan.
Pada Rabu (11/6/2025), peneliti Next Policy, Shofie azzahrah, menyoroti urgensi reformasi struktural dalam penentuan garis kemiskinan nasional. Ia menyatakan bahwa “Pemerintah perlu mempertimbangkan reformasi struktural terhadap penentuan garis kemiskinan nasional, dengan pendekatan yang lebih mencerminkan biaya hidup aktual dan kebutuhan nonpangan seperti akses pendidikan, kesehatan, dan transportasi.”
Shofie menekankan perlunya pemerintah memprioritaskan perluasan perlindungan sosial melalui skema jaminan sosial universal minimum, serta perbaikan manajemen penciptaan lapangan kerja. Ia menambahkan, “Program penciptaan lapangan kerja yang menarget sektor padat karya dan industri berbasis lokal perlu didorong lebih serius.”
Selain itu, dukungan terhadap peningkatan keterampilan tenaga kerja melalui pelatihan dan pendidikan dianggap penting untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing masyarakat miskin. “Dengan langkah-langkah ini, kebijakan pengentasan kemiskinan akan lebih inklusif, relevan secara global, dan berkelanjutan dalam jangka panjang,” tegasnya.
Shofie menjelaskan bahwa revisi angka kemiskinan Indonesia, yang naik dari sekitar 172 juta menjadi 195 juta jiwa, tidak serta merta mencerminkan penurunan kondisi ekonomi. Kenaikan ini lebih disebabkan oleh perubahan metodologi dalam penetapan garis kemiskinan global. Sebelumnya, angka 172 juta jiwa dihitung berdasarkan garis kemiskinan untuk negara berpendapatan menengah atas sebesar 6,85 dolar AS PPP per hari, berdasarkan siklus International Comparison Program (ICP) tahun 2017. Bank Dunia kini menggunakan garis kemiskinan baru sebesar 8,29 dolar AS PPP per hari berdasarkan ICP 2021. “Kenaikan ambang batas ini mencerminkan penyesuaian terhadap perubahan harga global, inflasi, dan standar hidup minimum yang layak,” paparnya.
Badan Pusat statistik (BPS), dengan metodologi domestik berbasis kebutuhan dasar, mencatat tingkat kemiskinan Indonesia sebesar 9,03 persen, atau sekitar 25,2 juta jiwa. Namun, dengan standar internasional Bank dunia, sebanyak 195 juta penduduk Indonesia masuk kategori miskin. Shofie menyatakan, “Angka yang sangat jomplang ini menunjukkan adanya ‘kemiskinan terselubung’ yang tidak tercermin dalam angka resmi, dan dapat menimbulkan bias dalam perumusan kebijakan sosial dan ekonomi nasional.”
Oleh karena itu,Shofie menekankan pentingnya formulasi kebijakan yang lebih relevan dengan konteks global dan responsif terhadap kondisi riil masyarakat.