Tutup
News

Kadin Sebut Konflik Israel-Iran Pengaruhi Tatanan Polarisasi Politik dan Ekonomi Global

88
×

Kadin Sebut Konflik Israel-Iran Pengaruhi Tatanan Polarisasi Politik dan Ekonomi Global

Sebarkan artikel ini
kadin-sebut-konflik-israel-iran-pengaruhi-tatanan-polarisasi-politik-dan-ekonomi-global
Kadin Sebut Konflik Israel-Iran Pengaruhi Tatanan Polarisasi Politik dan Ekonomi Global

Jakarta – Konflik antara Iran dan Israel menjadi perhatian utama yang membayangi perekonomian global, demikian disampaikan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia.Ketua Umum Kadin Indonesia, Anindya Novyan Bakrie, mengungkapkan kekhawatiran tersebut setelah menghadiri Saint Petersburg International Economic Forum (SPIEF) 2025 di Rusia.

“Saya lihat jelas sekali bahwa konflik Iran-Israel ini menjadi suatu perhatian penuh yang membayangi ekonomi dunia,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima, Sabtu (21/6/2025).

Forum yang juga dihadiri oleh Presiden RI Prabowo Subianto dan Presiden Rusia Vladimir Putin tersebut, menurut Anindya, didominasi oleh isu konflik Iran-Israel. Ia memperkirakan isu ini mendominasi sekitar 40-50 persen percakapan dalam forum. Anindya menilai konflik ini menjadi sorotan utama dan berdampak signifikan terhadap kondisi perekonomian dunia.Lebih lanjut,Anindya menjelaskan bahwa situasi ini mencerminkan polarisasi yang semakin tajam antara kekuatan Barat dan Timur. Hal ini, menurutnya, memperkuat pergeseran tatanan global menuju struktur multipolar. “Kelihatan benar-benar polarisasi antara Barat dan Timur. Bagaimana Iran dan Israel bisa memengaruhi bukan saja geopolitik, tapi juga pengentalan multipolar,” katanya.

Anindya juga menyoroti perkembangan blok negara-negara BRICS yang dinilai semakin menguat sebagai kekuatan ekonomi baru. Ia menyinggung ketidakhadiran Amerika Serikat (AS) dan China dalam dialog multilateral seperti APEC sebagai sinyal pergeseran kekuatan. “Sekarang BRICS berjalan dengan waktu, jumlahnya semakin besar. Setengah dari dunia hidup di negara-negara BRICS yang kini sudah menerima 9 negara baru (Belarus, Bolivia, Kuba, Indonesia, Kazakhstan, Malaysia, Thailand, Uganda dan Uzbekistan),” jelasnya.Dalam forum SPIEF 2025, Presiden Prabowo Subianto, kata Anindya, menegaskan pendekatan Indonesia yang tidak murni kapitalistik seperti negara-negara Barat, maupun sosialis seperti yang identik dengan China.Indonesia memilih jalan tengah, yang disebut Anindya sebagai pendekatan hibrida demi kemaslahatan bersama. “Indonesia memilih hybrid di tengah-tengah, tapi tujuannya ‘for teh greater good’, untuk sebanyak mungkin orang,” ucapnya.

Terkait hubungan ekonomi Indonesia dengan negara-negara besar,Anindya menekankan pentingnya menjaga keseimbangan,termasuk dalam negosiasi tarif dengan AS. Ia menegaskan bahwa Indonesia tidak bisa sepenuhnya tunduk pada tekanan negara besar karena memiliki alternatif kemitraan strategis, seperti melalui kerja sama dengan Uni Eropa melalui Indonesia-European Union comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA). “Kita juga kan sebagai negara tidak bisa terlalu diatur-atur, mengingat kita juga punya alternatif kan. Seperti contohnya dengan adanya IEU-CEPA. Nah ini kan akan membuka banyak sekali peluang-peluang yang selama ini tidak pernah ada,” tuturnya.Anindya juga menggarisbawahi posisi strategis Indonesia dalam konstelasi global saat ini. Ia menyebut Indonesia memiliki tiga “suara” penting yaitu sebagai satu-satunya negara Asia Tenggara di G20, sebagai negara berpenduduk muslim terbesar, dan sebagai mitra penting dalam kawasan Indo-Pasifik. “Itu yang menarik. Indonesia memiliki tiga suara penting, dan itu memberi kita posisi strategis dalam forum-forum internasional,” pungkasnya.

Baca Sumbar Bisnis lebih update via Google News, Klik Disini.