News

Ita Fatia Nadia Kecam Pernyataan Fadli Zon, Ungkap Fakta!

×

Ita Fatia Nadia Kecam Pernyataan Fadli Zon, Ungkap Fakta!

Sebarkan artikel ini
fadli-zon-dan-“epistemic-erasure”-yang-membosankan
Fadli Zon dan “Epistemic Erasure” yang Membosankan

Bukittinggi – Sejarawan dan aktivis kemanusiaan,Ita Fatia Nadia,mengecam keras pernyataan kontroversial Fadli Zon terkait peristiwa pemerkosaan massal Mei 1998. Ita, yang tergabung dalam Tim Relawan kemanusiaan bentukan Presiden Gus Dur, menilai pernyataan yang muncul dalam program “Real Talk with Uni Lubis” pada Senin (8/6/2025) itu sebagai upaya penghapusan sejarah.Ita menyatakan dirinya menyaksikan langsung dampak brutal kerusuhan Mei 1998 dan mencatat banyaknya korban kekerasan seksual. “Menyangkal tragedi tersebut sama saja menolak kenyataan pahit sejarah,” tegasnya.

Menurut Ita, hal ini bukan sekadar revisi sejarah, melainkan “produksi ingatan resmi yang sangat selektif.” Ia menjelaskan bahwa dalam studi humaniora, fenomena ini dikenal sebagai epistemic erasure, yaitu upaya untuk menghapus atau menyaring memori kolektif agar sesuai dengan narasi penguasa. “Dalam persoalan ini negara mulai bertingkah layaknya penjaga gerbang ingatan, seolah-olah sejarah itu dokumen negara yang bisa dicoret, diganti, ditulis ulang seenaknya,” ujarnya.

Ita menekankan bahwa epistemic erasure sangat mengkhawatirkan karena tidak hanya menghilangkan data atau fakta,tetapi juga mengintervensi cara masyarakat mengingat dan mendistorsi basis epistemologis dari pengalaman kolektif. Ita berpendapat bahwa Fadli Zon seharusnya memahami bahwa dalam konteks Mei 1998, korban kekerasan seksual, terutama perempuan Tionghoa, tidak hanya mengalami trauma fisik dan psikis, tetapi juga terancam dihapus dari catatan sejarah nasional. “dalam setiap luka kolektif, pengakuan menjadi kunci awal pemulihan. Tanpa itu, kita sedang membiarkan kekuasaan membentuk masa lalu sesuai seleranya,” katanya.

Ita juga menyoroti bahwa ketika negara melalui perwakilannya mendekonstruksi realitas sejarah, yang dirusak bukan hanya rekam peristiwa, tetapi juga struktur moral publik. “Pernyataan seperti ‘tidak ada’ seolah hanya sebatas opini, padahal itu punya konsekuensi politik. Ia memunculkan denialism sebagai strategi kekuasaan,” jelasnya.Ita mengingatkan bahwa dalam sejarah negara-negara otoriter, mengatur narasi sejarah adalah salah satu instrumen paling efektif untuk membungkam kritik dan membentuk legitimasi. Ia khawatir jika generasi mendatang hanya mengetahui peristiwa Mei 1998 dari versi yang sudah dibersihkan, dari buku pelajaran atau pidato resmi yang minim empati dan minim keberanian mengakui kesalahan. “Di titik itu, sejarah tidak lagi menjadi refleksi, tapi menjadi alat domestikasi ingatan. Tragedi kemanusiaan yang kompleks dikerdilkan menjadi sekadar catatan administratif yang steril,” ungkapnya. Ita juga menyinggung adanya aktor-aktor kultural yang ikut memproduksi narasi tunggal tersebut melalui media, pendidikan, atau bahkan seni. Ia menilai pernyataan Fadli Zon sebagai bentuk epistemic violence, di mana kekerasan dilakukan bukan lewat senjata, tapi lewat diskursus. “Ia memaksa kita menerima versi ‘resmi’ dengan mengorbankan pengalaman riil dari mereka yang pernah menjadi korban,” tegasnya.

Ita dan para pegiat HAM lainnya berjuang bukan hanya untuk keadilan bagi korban, tetapi juga untuk melindungi infrastruktur kebenaran historis. “Karena ketika negara menyangkali sejarah, ya kita paham betul bahwasanya yang dirampas bukan cuma memori individu, tapi memori kolektif bangsa. Dan itu bahaya besar,” pungkasnya.

Ita menekankan pentingnya bagi publik untuk tidak hanya menjadi konsumen narasi, tetapi juga menjadi produsen kritik. “Melawan epistemic erasure bukan soal hafal nama tokoh atau tanggal kejadian, tapi soal keberanian menjaga ingatan tetap liar, otentik, dan tidak tunduk,” katanya.

Ita menyerukan agar narasi tentang Mei 1998 tidak diserahkan pada mereka yang duduk di singgasana birokrasi saja, tetapi harus hidup di percakapan sehari-hari, di ruang kelas, di karya sastra, di dokumenter independen, bahkan di status media sosial sekalipun. “Di sinilah pentingnya memori sebagai ruang politik: siapa yang punya kuasa mengingat, punya kuasa untuk menentukan arah masa depan,” ujarnya.

Ita mengajak masyarakat untuk merawat memori kolektif, mendengarkan cerita para korban, mencatat testimoni mereka, dan menyebarkannya tanpa distorsi. “Ini bukan romantisme aktivisme, tapi langkah konkret melawan penulisan ulang sejarah yang tendensius. Karena sekali sebuah tragedi dilupakan, maka ia berpotensi terulang,” tegasnya.

ita mengingatkan bahwa epistemic erasure bukan hal abstrak, tetapi bekerja diam-diam dalam argumen seperti “tidak terbukti,” atau “hanya opini,” padahal di balik itu ada mekanisme kekuasaan yang aktif menyeleksi mana yang boleh masuk arsip negara dan mana yang dibiarkan membusuk dalam diam. “Melawan ini semua berarti kita harus terus membangun arsip tandingan, yang bukan hanya akurat, tapi juga adil bagi mereka yang telah disakiti oleh sejarah dan dilukai kembali oleh pelupaan sistematis hari ini,” tutupnya.

Baca Sumbar Bisnis lebih update via Google News, Klik Disini.