Jakarta – Direktur Eksekutif Indef, Esther Sri Astuti, memperingatkan potensi kontraksi ekonomi jika pajak pertambahan nilai (PPN) naik menjadi 12%.
“Kenaikan tarif PPN akan menyebabkan kontraksi perekonomian,” tegas Esther dalam diskusi virtual Indef.
Indef sebelumnya mengkaji dampak kenaikan PPN 12,5%. Hasilnya, indikator ekonomi mengalami pertumbuhan negatif, termasuk kontraksi pertumbuhan ekonomi sebesar 0,11%, konsumsi masyarakat minus 3,32%, upah riil minus 5,86%, dan penurunan indeks harga konsumen (IHK) sebesar 0,84%.
Meski pemerintah berencana menaikkan PPN menjadi 12%, Esther memperkirakan dampaknya tidak akan jauh berbeda. “Tarif PPN ini akan menyebabkan kontraksi perekonomian, tidak hanya konsumsi tetapi juga ekspor, impor, dan pertumbuhan ekonomi,” jelasnya.
Rencana kenaikan PPN 12% tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Tarif PPN diubah dari 10% menjadi 11% pada 1 April 2022 dan akan naik menjadi 12% paling lambat 1 Januari 2025.
Namun, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati masih berkoordinasi dengan Presiden terpilih Prabowo Subianto terkait kebijakan tersebut. Keputusan akhir akan diumumkan Prabowo setelah pelantikan presiden.
Selain kenaikan PPN 12%, UU HPP juga memungkinkan perubahan PPN menjadi minimal 5% dan maksimal 15%. Pemerintah juga memberikan pembebasan PPN pada kebutuhan pokok, pendidikan, kesehatan, dan transportasi.