Jakarta — Bank Indonesia (BI) mengatakan pelemahan nilai tukar rupiah dalam beberapa waktu terakhir terjadi karena tingginya kekhawatiran pasar terhadap prospek ekonomi global yang diperkirakan akan lesu karena corona.
Peningkatan terjadi karena pandemi virus corona atau covid-19 justru mencetak rekor harian baru belakangan ini.
Kurs rupiah yang sebelumnya sudah menguat ke kisaran Rp13 ribu per dolar AS perlahan-lahan terus melemah hingga menyentuh Rp14.800 per dolar AS dalam beberapa hari terakhir.
Deputi Gubernur Senior BI Destry Damayanti mengatakan prospek ekonomi global yang masih lesu membuat pelaku pasar keuangan meninggalkan aset investasi berisiko, termasuk mata uang seperti rupiah.
“Kondisinya akan lebih deeper (dalam) dan longer (panjang), sehingga terjadilah risk off. Jadi mereka menjauhi kembali instrumen-instrumen ataupun market yang mereka anggap akan membuat risiko tinggi,” ungkap Destry, dikutip Selasa 21 Juli 2020.
Hal ini, sambungnya, membuat pelaku pasar memilih instrumen investasi lain, misalnya surat utang pemerintah dan emas. Hal ini membuat tingkat imbal hasil (yield) surat utang menurun, sedangkan harga emas meningkat.
“Mereka beli lagi bond US (surat utang AS), sehingga rupiah dan beberapa mata uang regional mengalami tekanan. Begitu juga di negara emerging market, bukan hanya Indonesia,” katanya.
Lebih lanjut, Destry mencatat tingkat depresiasi atau pelemahan rupiah mencapai 3,57 persen terhadap dolar AS. Namun, ia mengklaim pelemahan ini masih lebih baik daripada mata uang negara lain.
Baht Thailand misalnya, sudah melemah 6,08 persen dari dolar AS sepanjang tahun ini. Sementara rubel Rusia melemah 24,9 persen dan Brasil minus 34,43 persen dari mata uang Negeri Paman Sam.
Sementara Menteri Keuangan 2013-2014 Chatib Basri melihat sentimen pelemahan rupiah saat ini masih cukup wajar. Apalagi mata uang Garuda tidak melemah sendiri di dunia.
“Rupiah memang melemah, tapi ini tidak jadi masalah karena itu level yang masih terkendali,” ujar Chatib.