Jakarta – Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatatkan awal perdagangan yang kurang menggembirakan pada Jumat (20/6/2025), dengan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tertekan oleh sentimen negatif dari eskalasi ketegangan geopolitik di Timur Tengah. Data menunjukkan bahwa IHSG dibuka melemah sebesar 0,29 persen atau 20,36 poin, berada pada level 6.948,28. Indeks LQ45, yang terdiri dari 45 saham pilihan, juga mengalami penurunan sebesar 0,46 persen atau 3,55 poin, mencapai level 771,26.
Menanggapi kondisi pasar, Head of Retail Research BNI Sekuritas, Fanny Suherman, memberikan proyeksi. “Setelah IHSG terkoreksi cukup dalam kemarin, indeks berpeluang technical rebound jangka pendek ke kisaran 7.000-7.050. Namun, ini bisa dimanfaatkan untuk take profit, karena IHSG masih berpotensi koreksi ke level 6.800 dalam waktu dekat,” jelasnya di Jakarta.
Perkembangan situasi global turut menjadi perhatian utama. Investor memantau dengan cermat respons para pemimpin dunia terhadap konflik yang semakin intensif antara Iran dan Israel. Pasar menaruh harapan besar pada negosiasi antara Uni Eropa dan Amerika Serikat dengan negara-negara yang terlibat konflik, yang dijadwalkan berlangsung pada 20 Juni, untuk dapat meredakan ketegangan yang ada.
Kekhawatiran pasar semakin meningkat seiring dengan potensi meluasnya konflik yang dapat melibatkan lebih banyak negara, termasuk negara-negara besar yang mendukung Iran maupun Israel.
Dilaporkan bahwa Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, kembali mengadakan pertemuan keamanan nasional di Situation Room Gedung Putih, yang merupakan pertemuan kedua dalam dua hari terakhir, untuk membahas potensi aksi militer terhadap Iran di tengah meningkatnya eskalasi konflik.
Trump disebut masih mempertimbangkan langkah selanjutnya, termasuk opsi serangan militer ke Iran, yang dinilai dapat memperburuk ketegangan geopolitik dalam waktu dekat.
Ketegangan ini juga memicu kekhawatiran akan terganggunya rantai pasok komoditas energi, terutama minyak dan gas, yang mendorong lonjakan harga kedua komoditas tersebut. Akibatnya, risiko inflasi global meningkat, sehingga ruang bagi bank sentral utama dunia, khususnya Federal Reserve (The Fed), untuk memangkas suku bunga pada sisa tahun ini menjadi semakin terbatas.