Jakarta – Komisi XI DPR RI menyoroti perbedaan asumsi nilai tukar rupiah antara pemerintah dan Bank Indonesia (BI) dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RUU APBN) 2025.
Pemerintah memproyeksikan nilai tukar rupiah pada Rp 16.100 per dolar AS, sementara BI memperkirakan antara Rp 15.300—Rp 15.700 per dolar AS.
Gubernur BI Perry Warjiyo menjelaskan, asumsi BI didasarkan pada nilai fundamental dan belum mempertimbangkan eskalasi geopolitik.
“Kami memberikan masukan untuk dipertimbangkan oleh Komisi XI DPR dan pemerintah,” ujarnya dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Kompleks DPR RI.
Warjiyo menekankan pentingnya kehati-hatian dalam menentukan nilai tukar. Ia mengusulkan penambahan Rp 200 dari asumsi maksimal BI, menjadi Rp 15.900 per dolar AS. “Mungkin Rp 16.100, artinya tambahnya Rp 400, berarti terlalu berhati-hati,” tuturnya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani membenarkan esensi kehati-hatian yang disampaikan Warjiyo. Ia menegaskan dua faktor fundamental yang mendasari asumsi Rp 16.100 per dolar AS, yaitu neraca pembayaran dan cadangan devisa.
“Kami menjadi ekstra hati-hati karena current account deficit diperkirakan lebih tinggi,” ujar Sri Mulyani. “Fiskalnya juga defisit 2,53 persen, jadi kami menganggap Rp 16.100 memberikan bantalan terhadap kemungkinan current account deficit yang lebih tinggi.”
Sri Mulyani juga menyoroti sentimen global yang memengaruhi asumsi rupiah. Ia mencontohkan depresiasi rupiah pada akhir 2023 dan semester I 2024, yang kemudian terapresiasi pada akhir Juli hingga akhir Agustus 2024.