Tutup
News

Kritik Tajam Senator Haji Uma: Pusat Persempit Otonomi

139
×

Kritik Tajam Senator Haji Uma: Pusat Persempit Otonomi

Sebarkan artikel ini
kritik-tajam-senator-haji-uma:-kebijakan-pemerintah-pusat-persempit-kewenangan-daerah
Kritik Tajam Senator Haji Uma: Kebijakan Pemerintah Pusat Persempit Kewenangan Daerah

JAKARTA – Senator asal Aceh, Haji Sudirman atau akrab disapa Haji Uma, menyoroti terbatasnya kewenangan daerah akibat implementasi Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Hal itu disampaikan saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komite I DPD RI, Rabu (2/7/2025).

Haji Uma menegaskan, kebijakan pemerintah pusat menyebabkan kewenangan daerah, termasuk Aceh sebagai daerah otonomi khusus, semakin terbatas. “Otonomi khusus Aceh saat ini hanya tinggal simbol. Banyak kewenangan yang seharusnya menjadi hak daerah, justru diambil alih oleh pusat melalui berbagai regulasi,” tegasnya.

Menurutnya, pelemahan otonomi khusus di Aceh berpotensi menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah pusat, terutama karena Aceh memiliki sejarah konflik dan perjanjian damai yang harus dihormati. “Kalau pemerintah mengabaikan kesepakatan damai dan mengurangi substansi otonomi, maka keresahan di tengah masyarakat bisa muncul lagi. Ini bukan soal politik, tapi soal penghormatan terhadap sejarah dan kesepakatan negara,” ujarnya.

Dalam RDP tersebut, Haji Uma juga menanggapi wacana pengangkatan gubernur secara tertutup oleh pemerintah pusat.Ia menilai wacana tersebut tidak menyelesaikan persoalan mahalnya biaya politik, melainkan justru mencederai demokrasi. “Masyarakat Aceh lebih memilih pemilu terbuka. Mereka ingin bisa memilih langsung, karena itu bentuk harapan mereka. Kalau ditutup, mereka tidak tahu siapa yang memilih dan apa manfaatnya,” katanya.

haji Uma juga menyoroti dominasi negara dalam mengatur seluruh aspek hingga ke persoalan teknis ASN.Menurutnya, hal ini menutup ruang inovasi dan kemandirian daerah. “Negara ini jangan terlalu dalam mengatur sampai ke bawah. Daerah perlu ruang untuk bergerak dan menentukan sendiri kebijakannya, sesuai kondisi lokal,” tambahnya.

Dr. Soni Sumarsono, mantan Dirjen Otonomi daerah Kementerian Dalam Negeri, turut hadir dalam RDP tersebut dan memberikan pandangan komprehensif terkait dinamika pelaksanaan desentralisasi dan urgensi penyempurnaan regulasi pelaksana UU Pemerintahan daerah.

Komite I DPD RI juga memaparkan sejumlah persoalan struktural dalam pelaksanaan UU 23 Tahun 2014.Salah satu sorotan utama adalah belum terbitnya dua Peraturan Pemerintah penting, yaitu PP tentang desain Besar Penataan Daerah (Desartada) dan PP tentang Penataan Daerah. Padahal, kedua regulasi ini sangat diperlukan sebagai dasar hukum pelaksanaan penataan wilayah, pemekaran daerah, dan penggabungan daerah.

Haji Uma mengutip laporan RDP dan mengatakan, draf PP ini sudah selesai selama delapan tahun, tetapi belum juga diterbitkan. “Padahal pemekaran wilayah dan restrukturisasi daerah sangat tergantung pada dasar hukum itu,” terangnya.

Data resmi yang disampaikan dalam rapat menunjukkan bahwa sejak desentralisasi 1999, terjadi peningkatan jumlah daerah otonom secara signifikan. Namun, hingga saat ini, usulan pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB) masih menumpuk di Kemendagri dan DPR RI, terkendala oleh moratorium dan tidak adanya PP sebagai dasar pelaksanaan.

Secara keseluruhan, penataan daerah mencakup pembentukan daerah, pemekaran, penggabungan, dan penyesuaian wilayah. Namun pelaksanaannya belum berjalan optimal karena belum tersedia parameter teknis dan administratif yang lengkap dalam bentuk regulasi turunan UU.Komite I juga menyoroti persoalan kelembagaan pemerintah daerah yang cenderung membengkak serta tumpang tindih kewenangan pusat dan daerah. Lahirnya berbagai peraturan teknis dari kementerian yang tidak didasari oleh Peraturan Pemerintah menyebabkan kebingungan di daerah dan memperpanjang birokrasi.

Hal ini diperparah oleh keterbatasan pendapatan Asli Daerah (PAD) dan ketergantungan yang tinggi terhadap transfer dana dari pusat.”Pemerintah daerah hari ini gamang mengambil keputusan. Mereka takut melangkah karena aturan pusat terlalu dominan dan tidak sinkron. Ini menghambat inovasi,” ungkap Haji Uma.

Terkait Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) madya dan Pratama, pemerintah pusat juga dinilai terlalu sentralistik dalam proses pengangkatan. Padahal, semangat desentralisasi seharusnya memberikan ruang kepada daerah untuk menentukan sendiri pejabat yang sesuai dengan kebutuhan lokal.

Terakhir, Haji Uma mengingatkan pentingnya sinkronisasi antara Rencana pembangunan Jangka Panjang Nasional dengan rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah. Ia mengkritik pendekatan pembangunan yang diseragamkan tanpa memperhatikan realitas masing-masing wilayah. “Pemerintah pusat tidak bisa memaksakan satu formula pembangunan untuk semua daerah. Masyarakat yang makan jagung tidak bisa dipaksa konsumsi nasi. Harus ada penyesuaian terhadap kultur dan potensi daerah,” tegasnya.

Haji uma menutup pernyataannya dengan mengajak seluruh pihak untuk mengembalikan semangat reformasi dan desentralisasi yang menjadi ruh pembentukan Undang-Undang Pemerintahan Daerah. “Pusat dan daerah harus berjalan bersama. Jangan sampai daerah hanya menjadi pelaksana kebijakan pusat tanpa hak bicara. Kita membangun republik ini bersama, bukan sepihak,” pungkasnya.

Baca Sumbar Bisnis lebih update via Google News, Klik Disini.