Bukittinggi – Di tengah maraknya kasus kekerasan terhadap anak, masyarakat menaruh harapan besar pada negara dan hukum untuk memberikan solusi. Namun,jauh sebelum sistem formal negara hadir,masyarakat Indonesia telah memiliki mekanisme kultural untuk melindungi anak melalui sistem adat yang diwariskan secara turun temurun.Menurut Dosen Komunikasi UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi, Tomi Hendra, adat memiliki peran yang lebih luas dari sekadar tradisi dan budaya.”Dalam sistem adat, anak bukan hanya menjadi tanggung jawab orang tua biologis, melainkan milik bersama seluruh komunitas,” ujarnya. Adat juga mencakup nilai-nilai hidup yang menekankan kebersamaan, keharmonisan, dan tanggung jawab sosial.
Di sumatera Barat, sejak Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2007 tentang pokok-Pokok Pemerintahan Nagari diterbitkan, sistem pemerintahan lokal kembali ke bentuk nagari. Perubahan ini menghidupkan kembali peran lembaga adat Minangkabau dalam struktur sosial masyarakat. Perda Nomor 6 Tahun 2014 tentang Penguatan Lembaga adat dan Pelestarian Nilai-Nilai Adat Minangkabau menegaskan peran lembaga adat dalam menangani berbagai persoalan, termasuk yang berkaitan dengan anak kemenakan.
Namun, modernisasi dan individualisme telah menyebabkan peran adat menjadi melemah. Gaya hidup modern mengikis nilai-nilai kebersamaan yang menjadi fondasi komunitas,sehingga anak-anak kehilangan perlindungan alami dari lingkungan sosial yang solid.
Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (kemenpppa) mencatat, pada triwulan pertama 2025, terdapat 38 kasus anak yang memerlukan perlindungan khusus, mayoritas berupa kekerasan seksual dan fisik. Komnas Perempuan mencatat 2.702 kasus kekerasan terhadap perempuan pekerja sepanjang 2024. Angka-angka ini menunjukkan bahwa kekerasan, khususnya terhadap perempuan dan anak, masih menjadi masalah sosial yang belum terselesaikan.
Kekerasan terhadap anak hadir dalam berbagai bentuk, seperti fisik, verbal, emosional, hingga penelantaran. Meskipun negara telah menetapkan berbagai undang-undang dan kebijakan perlindungan anak, angka kekerasan masih tinggi. Di tengah regulasi formal, adat sering kali terlupakan.
Adat adalah sistem nilai dan norma yang tumbuh dari kebijaksanaan kolektif masyarakat. Dalam adat, relasi sosial dibangun melalui kesepakatan, rasa malu, dan nurani, bukan kekuasaan atau paksaan hukum. Di berbagai komunitas adat, anak dipandang sebagai titipan bersama.Di Minangkabau, sistem kekerabatan matrilineal menjadikan keluarga besar berperan aktif dalam pengasuhan.
Hal serupa ditemukan dalam komunitas Dayak, di mana kekerasan terhadap anak dianggap sebagai aib besar yang mencoreng martabat keluarga dan kampung. Sanksi adat dapat dikenakan tidak hanya kepada pelaku, tetapi juga kepada keluarganya.Kontrol sosial dalam komunitas adat bekerja sebelum aparat penegak hukum turun tangan.
Selain itu, adat memiliki pendekatan khas dalam menyelesaikan konflik melalui musyawarah. Tokoh adat sering kali menjadi mediator dalam persoalan rumah tangga, termasuk kasus kekerasan terhadap anak. Pendekatan adat yang bersifat restoratif memungkinkan pemulihan relasi dan memberikan ruang aman bagi anak sebagai korban.
Modernisasi, urbanisasi, dan melemahnya ikatan kekerabatan memudarkan fungsi komunal adat. Di kota-kota besar, banyak orang tua menghadapi tantangan pengasuhan seorang diri, tanpa dukungan sosial yang memadai. Tidak semua komunitas adat memiliki aturan eksplisit terkait perlindungan anak. oleh karena itu, dokumentasi, revitalisasi, dan kontekstualisasi nilai-nilai adat penting agar tetap relevan.
Negara perlu bersikap lebih bijak dan terbuka. Perlindungan anak tidak cukup hanya mengandalkan pendekatan hukum formal, tetapi juga sinergi dengan kekuatan lokal seperti lembaga adat.Tokoh adat dapat dilibatkan dalam program penyuluhan, pelatihan pengasuhan, hingga mediasi dalam kasus kekerasan. Perlindungan yang efektif adalah perlindungan yang hadir di akar rumput,dekat dengan masyarakat,dan menyentuh relasi sosial yang nyata.
“Adat bukan sekadar simbol budaya atau kostum upacara, tetapi potensi solusi sosial yang masih relevan,” kata Tomi Hendra.Menghidupkan kembali peran adat berarti mengembalikan fungsi komunitas sebagai pelindung utama bagi anak-anak dari berbagai bentuk kekerasan. Saat negara menggandeng kekuatan lokal, perlindungan anak akan benar-benar hadir dan terasa di tengah masyarakat.